BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbicara tentang bahasa, maka pemakai akan memasuki suatu bidang yang sangat luas yang mencakup ragam pemakaian bahasa. Sebagai contoh, bahasa Indonesia yang berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara dalam perkembangannya memunculkan berbagai ragam bahasa, baik yang berkaitan dengan pengaruh lingkungan daerah maupun yang berkaitan dengan lingkungan sosial tertentu.
Bahasa dan masyarakat merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Secara perorangan bahasa digunakan untuk menyampaikan segala macam perasaan kepada orang lain. Bahasa digunakan untuk menunjukkan ataupun menutupi identitas pribadi dan sifat-sifat seseorang tanpa menyadari hal tersebut.
Perlu diketahui bahwa bangsa Indonesia terdiri atas beratus-ratus suku bangsa yang masing-masing memiliki adat-istiadat dan bahasa sendiri-sendiri. Namun, harus diakui bahwa bahasa daerah ini tidak dapat mempersatukan seluruh rakyat atau warga negara Indonesia. Ketidakmampuan ini dapat diatasi dengan adanya suatu bahasa nasional sebagai bahasa pemersatu suku bangsa.
Bahasa sebagai alat komunikasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Setiap penutur bahasa hidup dan bergerak dalam masyarakat yang mempunyai adat-istiadat dan tata cara pergaulan yang berbeda. Perbedaan ini terwujud pula dalam pemakaian bahasanya.
Ragam bahasa dapat dibedakan berdasarkan jenis penggunaan bahasa dalam komunikasi verba, yaitu ragam lisan dan ragam tertulis. Ragam lisan dibangun oleh unsur-unsur bahasa lisan yang meliputi kosakata, istilah, bentuk pilihan kata, kalimat, paragraf, dan wacana, serta alat-alat bantu komunikasi lainnya, seperti isyarat, gerak tubuh, dan intonasi. Dalam ragam bahasa tulis, unsur-unsur nonsegmental (nonlinguistik) seperti nada, suara gerak-gerik tangan, air muka, dan sejumlah gejala fisik lainnya itu tidak ada (Chaer, 1995: 65).
Ragam bahasa (variasi bahasa) yang bertentangan dengan fungsi pemakaiannya dapat dipilih sesuai dengan tujuan komunikasi. Ragam bahasa yang digunakan dalam berbagai sektor kehidupan sosial sehari-hari dalam berbagai situasi (Sumarsono, 2002: 17). Lebih lanjut menyatakan bahwa munculnya variasi bahasa dimungkinkan oleh hadirnya berbagai bidang profesi atau keahlian. Bidang profesi itulah yang memunculkan berbagai variasi bahasa yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Secara umum, perbedaan kosakata, istilah, diksi, dan tata bahasanya.
Ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian yang berbeda-beda berdasarkan topik yang dibicarakan; hubungan pembicara, lawan bicara, dan yang dibicarakan menurut medium pembicaraan (Kridalaksana, 2001 : 184 ). Ragam Bahasa saat ini, mulai dibuat dan dirancang sedemikian rupa untuk sesuatu yang dianggap menyimpang
Pada ayat ketiga dalam SUMPAH PEMUDA berbunyi “Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Ini mengandung arti bahwa menjunjung tinggi dan menghormati bahasa Indonesia adalah kewajiban bagi pemuda untuk melaksanakannya karena bahasa Indonesia merupakan identitas dan karakteristik bangsa Indonesia. Untuk itulah, Pemuda perlu mengamalkannya, karena makna SUMPAH PEMUDA begitu sakral diseluruh rakyat Indonesia khususnya kalangan pemuda.
Maka dari itu salah satu anggota masyarakat yang akan peneliti jelaskan dalam penelitian ini adalah pada golongan remaja. Pada saat ini, penggunaan ragam bahasa telah banyak disalahgunakan oleh sekalangan orang, terutama pada kalangan remaja. Penyalahgunaan ini terjadi akibat adanya sebuah pemikiran tersendiri yang membuat perubahan pada tatanan bahasa sehingga melahirkan sebuah ragam bahasa yang menyimpang.
Kesalahan ragam bahasa kini dianggap sepele oleh sekalangan remaja, namun apabila hal tersebut dibiarkan terjadi secara terus-menerus, maka akan merusak tatanan bahasa Indonesia yang sebenarnya.
Penggunaan ragam bahasa yang menyimpang oleh sekalangan remaja kini tidak dapat lagi dihindari akibatnya dapat mengurangi tingkat kesantunan dari cara mereka menggunakan ragam bahasa tersebut, seperti menggunakan bahasa gaul ataupun sebagainya. Sehingga dari penggunaan variasi bahasa yang menyimpang tersebut dapat menimbulkan berbagai macam polemik yang terjadi di tatanan sosial masyarakat.
Bahasa juga mengandung suatu kodrat yang mengartikan bahwa bahasa itu umumnya dimiliki oleh suatu kalangan tertentu dari segi jenis kelaminnya. Apabila bahasa itu diucapkan oleh laki-laki, maka itu kedengarannya wajar saja. Namun apabila bahasa tersebut diucapkan oleh perempuan, maka kedengarannya ganjil dan tidak wajar bagi perempuan semestinya.
Penggunaan ragam bahasa yang menyimpang ini terjadi juga akibat perspektif gender. Artinya yaitu, adanya suatu bahasa “rampasan” yang sebenarnya sangat tidak layak untuk diucapkan oleh jenis kelamin tertentu karena pada umumnya perkataan tersebut lebih pantas diucapkan oleh jenis kelamin tertentu yang berkebalikan.
Seperti penggunaan bahasa-bahasa kotor oleh remaja perempuan yang kedengarannya sangat tidak etis karena pada umumnya bahasa-bahasa kotor tersebut sering terlontar dari mulut remaja laki-laki. Sehingga jika remaja perempuan tersebut mengatakannya maka citranya akan tercoreng. Bahasa kotor tersebut memang sangat merusak tatanan berkomunikasi sosial di kalangan remaja modern ini, sehingga benar-benar perlu dihindari atau jika perlu dapat dihapuskan pada remaja laki-laki terlebih lagi kepada remaja perempuan.
Sehubungan dengan masalah ini, untuk mengetahui seluk-beluk masalah variasi atau ragam bahasa menyimpang yang terjadi di kalangan remaja modern, maka dari itu penulis menulis karya ilmiah ini, yang berjudul :“PENGGUNAAN RAGAM BAHASA DALAM TATANAN SOSIAL DI KALANGAN REMAJA MODERN (SUATU PERSPEKTIF GENDER) ”.
B. Rumusan Masalah
Dengan melihat latar belakang yang telah dikemukakan, maka beberapa masalah yang dapat dirumuskan dan akan dibahas dalam karya ilmiah ini adalah :
1. Bagaimana penyimpangan penggunaan ragam bahasa di kalangan remaja beserta pengaruhnya terhadap tatanan sosial remaja modern ?
2. Apa yang menyebabkan terjadinya penyimpangan penggunaan ragam bahasa di kalangan remaja modern ini ?.
3. Bagaimana cara mengatasi penyimpangan ragam bahasa ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui penyimpangan penggunaan ragam bahasa pada kalangan remaja beserta pengaruhnya terhadap tatanan sosial remaja modern
2. Untuk mengetahui penyebab terjadinya penggunaan ragam bahasa di kalangan remaja modern.
3. Untuk mengetahui cara mengatasi penyimpangan ragam bahasa.
D. Manfaat Peneltian
1. Untuk memberikan informasi tentang betapa pentingnya penggunaan bahasa yang benar kepada masyarakat terutama remaja
2. Untuk meminimalisirkan terjadi penggunaan bahasa yang menyimpang di kalangan masyarakat terutama remaja
3. Sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya mengenai penggunaan bahasa yang baik dan benar
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Ragam Bahasa
Bahasa merupakan media yang paling efektif untuk membangun komunikasi. Kemampuan menggunakan bahasa yang baik dan benar oleh komunikator dan audiens merupakan tuntutan yang harus dipenuhi agar peristiwa komunikasi dapat berjalan dengan baik. Penggunaan bahasa yang baik adalah pemakaian bahasa yang sesuai dengan situasi dan konteks komunikasi. Pemakaian bahasa yang benar adalah penggunaan bahasa yang sesuai dengan sistem kaidah. Pemakaian bahasa yang baik dan benar ini dilaksanakan dengan memperhatikan aspek-aspek kejelasan (clarity), keutuhan (unity), kesingkatan (conciseness), dan hidup yang bersemangat (vigorously).
Aristoteles (dalam Sumarsono 2001: 31) menyatakan bahwa keindahan bahasa digunakan untuk hal yang bersifat membenarkan (corrective), memerintah (instructive), mendorong (sugestive), dan mempertahankan (defensive).
Bahasa sebagai alat komunikasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Setiap penutur bahasa hidup dan bergerak dalam masyarakat yang mempunyai adat istiadat dan tata cara pergaulan yang berbeda. Perbedaan ini terwujud pula dalam pemakaian bahasanya. Orang yang ingin turut serta dalam bidang tertentu harus memilih salah satu ragam bahasa yang dikuasai sesuai dengan bidang atau pokok permasalahan.
Kridalaksana (2001: 184) mengemukakan bahwa ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian yang berbeda-beda berdasarkan topik yang dibicarakan; hubungan pembicara, lawan bicara, dan yang dibicarakan menurut medium pembicaraan.
B. Kalangan Remaja
1. Introduksi remaja
Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik (Hurlock, 1992). Pasa masa ini sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas karena tidak termasuk golongan anak tetapi tidak juga golongan dewasa atau tua.
Seperti yang dikemukakan oleh Calon (dalam Monks, dkk 1994) bahwa masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak. Menurut Sri Rumini & Siti Sundari (2004: 53) masa remaja adalah peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek/ fungsi untuk memasuki masa dewasa.
Masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Sedangkan menurut Zakiah Darajat (1990: 23) adalah:
Masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa. Dalam masa ini anak mengalami masa pertumbuhan dan masa perkembangan fisiknya maupun perkembangan psikisnya. Mereka bukanlah anak-anak baik bentuk badan ataupun cara berfikir atau bertindak, tetapi bukan pula orang dewasa yang telah matang.
2. Definisi Remaja
Hal senada diungkapkan oleh Santrock (2003: 26) bahwa adolescene diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional.
Batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun. Rentang waktu usia remaja ini biasanya dibedakan atas tiga, yaitu 12 – 15 tahun = masa remaja awal, 15 – 18 tahun = masa remaja pertengahan, dan 18 – 21 tahun = masa remaja akhir. Tetapi Monks, Knoers, dan Haditono membedakan masa remaja menjadi empat bagian, yaitu masa pra-remaja 10 – 12 tahun, masa remaja awal 12 – 15 tahun, masa remaja pertengahan 15 – 18 tahun, dan masa remaja akhir 18 – 21 tahun (Deswita, 2006: 192).
Definisi yang dipaparkan oleh Sri Rumini & Siti Sundari, Zakiah Darajat, dan Santrock tersebut menggambarkan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak dengan masa dewasa dengan rentang usia antara 12-22 tahun, dimana pada masa tersebut terjadi proses pematangan baik itu pematangan fisik, maupun psikologis.
Kalangan merupakan sekelompok individu yang mempunyai tingkat integritas dan status yang umumnya setara atau sama. Sedangkan Remaja adalah orang yang dimana dirinya berada diantara masa anak-anak dan masa dewasa yang dimana pikirannya masih labil dan kurang konsisten terhadap masalah yang terjadi.
Hubungan antara ragam bahasa dan kalangan remaja ini memiliki keterikatan hubungan yang berkesinambungan. Karena umumnya penyimpangan ragam bahasa ini terjadi akibat penggunaannya yang berlebihan oleh remaja baik itu secara perseorangan maupun berkelompok akibatnya dapat mengubah kepribadian sikap remaja tersebut dengan cara menggunakan ragam bahasa yang menyimpang.
Dapat dikatakan bahwa para remaja “Melakukan Penemuan” ragam bahasa ini pada saat berkomunikasi terhadap orang lain terutama pada teman sebayanya ataupun menemukannya dari berbagai sumber lain. Sehingga sesekali lawan bicara remaja tersebut kurang mengerti bahasa yang diutarakan karena kedengarannya “aneh” atau bahkan merupakan kata yang baru baginya. Hal tersebut bisa berpengaruh bahkan bisa merusak tatanan sosial di kalangan remaja.
Sehingga dari perilaku remaja sekarang ini yang menemukan berbagai macam ragam bahasa yang menyimpang tersebut, maka penulis mengatakannya sebagai Remaja yang Modern.
C. Faktor Internal
Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri seseorang. Hal ini timbul akibat adanya keinginan seorang remaja untuk membuat dirinya menjadi lebih beda. Keinginan tersebut bisa mengarahkan seseorang kearah yang positif namun bisa juga mengarah ke negatif. Pada kalangan remaja saat ini, faktor internal sangat berpengaruh terhadap kepribadian remaja terutama pada kehidupan sehari-harinya, baik dalam berinteraksi dengan teman maupun dengan orang yang lebih tua darinya. Faktor internal bisa menyebabkan terjadinya penyimpangan ragam bahasa. Hal itu diakibatkan karena seorang remaja ingin membuat dirinya berbeda dengan teman sebayanya atau mungkin hal tersebut dilakukan atas dasar untuk mencari perhatian.
Remaja pada saat ini kebanyakan menggunakan ragam bahasa yang menyimpang akibat adanya dorongan dari dalam diri untuk menghasilkan suatu ragam bahasa yang “baru”, namun menyimpang dari ragam bahasa yang telah ada. Hal ini bukan merupakan masalah bagi kalangan remaja, tapi hanya dijadikan sebagai kebiasaan yang wajar bagi mereka. Akibat pandangan tersebut, kalangan remaja sekarang ini sudah tidak memikirkan lagi ragam bahasa yang telah ditetapkan dan tanpa beban mereka membiasakan diri menggunakan ragam bahasa yang menyimpang.
D. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri seseorang. Faktor tersebut dapat berupa dorongan dari keluarga, sahabat, kerabat, teman, dan lingkungan. Faktor ini sangat menentukan kepribadian seseorang, terutama pada kalangan remaja yang tergolong masih “labil” karena remaja dapat melakukan segala sesuatu tanpa difikirkan secara matang terlebih dahulu.
Faktor eksternal juga dapat menyebabkan seseorang terutama di kalangan remaja melakukan penyimpangam terhadap ragam bahasa yang telah ditetapkan. Penyimpangan ini kebanyakan terjadi akibat banyaknya pengaruh yang diperoleh seorang remaja baik itu dari keluarga, teman, bahkan lingkungannya. Hal ini diakibatkan karena pergaulan yang tidak etis, sehingga memudahkan seorang remaja untuk melakukan penyimpangan terhadap ragam bahasa. Seorang remaja menganggap dirinya berbeda, apabila ia telah memiliki perbedaan baik dari segi tata cara berpakaian sampai ragam bahasa yang digunakan pada saat berbicara. Perbedaan itulah yang sekarang ini biasa kita dengar dengan istilah “gaul”.
Penyimpangan yang telah dilakukan tidak terlalu diperhatikan oleh sekalangan remaja karena mereka menganggap apa yang mereka lakukan itu tidaklah salah dan tidak terikat oleh hukum atau Undang-Undang sehingga dianggap sah-sah saja. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh remaja saat ini, yakni menghormati para leluhur yang telah bersusah payah menciptakan sebuah mahakarya yang kita sebut sebagai “bahasa” dengan tetap menggunakan bahasa yang baku dimanapun kita berada terutama di Negeri tercinta Indonesia.
E. Kesantunan
Kesantunan dalam berbahasa mungkin merupakan horison baru dalam berbahasa, dan sampai saat ini belum dikaji dalam konstelasi linguistik; terkecuali dalam telaah pragmatik. Kesantunan dalam berbahasa meskipun disebut sebagai horison baru, namun sudah mendapatkan perhatian oleh banyak linguis dan pragmatisis. Misalnya Aziz (2000) yang meneliti bagaimana cara masyarakat Indonesia melakukan penolakan dengan melalui ucapan, yang menurutnya mengandung nilai-nilai kesantunan tersendiri. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa terdapat bidang baru dalam kajian kebahasaan, bukan hanya dari aspek tata bahasa, bukan pula dari aspek psikososial, namun juga dari aspek etika.
Sebagai bidang baru dalam kajian kebahasaan, khususnya bahasa dalam penggunaan (language in use), kesantunan (politeness) dalam berbahasa seyogiyanya mendapatkan perhatian, baik oleh pakar atau linguis, maupun para pembelajar bahasa. Selain itu, penting juga bagi setiap orang untuk memahami kesantunan berbahasa ini, karena manusia yang kodratnya adalah “makhluk berbahasa” senantiasa melakukan komunikasi verbal yang sudah sepatutnya beretika.
Meskipun dalam ilmu pragmatik kesantunan berbahasa baru mulai mendapatkan perhatian, konsep etika berbahasa ini sudah bisa dibilang lama bersemayam dalam komunikasi verbal masyarakat manapun. Kesantunan berbahasa, secara tradisional, diatur oleh norma-norma dan moralitas masyarakat, yang diinternalisasikan dalam konteks budaya dan kearifan lokal. Tata krama berbahasa antara yang muda dan yang tua, sudah lama hidup dalam komunikasi verbal, yang justru mulai sirna mengikuti arus negatif westernisasi, yang membawa ideologi liberal.
Konsep kesantunan dalam berbahasa tradisional itu sudah saatnya “dibaca” kembali secara teoretis, agar terjadi penyegaran ideologi mengenai bagaimana seharusnya bahasa itu digunakan, agar santun. Tulisan ini akan memberikan pandangan teoretis mengenai ihwal kesantunan berbahasa, yang mana dapat dijadikan acuan untuk kembali melakukan refleksi atas penggunaan bahasa sehari-hari. Refleksi untuk melihat nilai kesantunan dalam penggunaan bahasa sehari-hari terbilang penting, dimana bahasa bukan hanya sebagai instrumen komunikasi, melainkan juga ajang realisasi diri yang santun dan beretika.
Bersikap atau berbahasa santun dan beretika juga bersifat relatif, tergantung pada jarak sosial penutur dan mitra tutur. Selain itu, makna kesantunan dan kesopanan juga dipahami sama secara umum; sementara itu, kedua hal tersebut sebenarnya berbeda. Istilah sopan merujuk pada susunan gramatikal tuturan berbasis kesadaran bahwa setiap orang berhak untuk dilayani dengan hormat, sementara santun itu berarti kesadaran mengenai jarak sosial (Thomas, 1995).
Jika norma-norma dalam tradisi lokal menanamkan kesantunan dalam berbahasa, mungkin belum terjadi pemilahan antara kesopanan (deference) dan kesantunan (politeness). Sebuah teori yang akan disuguhkan berikut ini adalah teori kesantunan berbahasa yang diadopsi dari tradisi moral Cina yang dikembangkan oleh Konfusius dan diteorisasikan oleh Goffman, Brown, dan Levinson. Teori yang diulas singkat ini, serta contoh-contoh dari data empiris diharapkan membuka cakrawala berfikir kita mengenai kesantunan berbahasa.
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa tulisan ini mengandung pandangan teoretis mengenai kesantunan berbahasa Konfusius, maka berikut ini akan diulas secara singkat mengenai teori tersebut.
Menurut Brown dan Levinson (1987), yang mana terinspirasi oleh Goffman (1967), bahwasanya bersikap santun itu adalah bersikap peduli pada “wajah” atau “muka,” baik milik penutur, maupun milik mitra tutur. “Wajah,” dalam hal, ini bukan dalam arti rupa fisik, namun “wajah” dalam artian public image, atau mungkin padanan kata yang tepat adalah “harga diri” dalam pandangan masyarakat.
Konsep wajah ini berakar dari konsep tradisional di Cina, yang dikembangkan oleh Konfusius terkait dengan nilai-nilai kemanusiaan (Aziz, 2008). Pada wajah, dalam tradisi Cina, melekat atribut sosial yang merupakan harga diri, sebuah penghargaan yang diberikan oleh masyarakat, atau dimiliki secara individu. Wajah, merupakan “pinjaman masyarakat,” sebagaimana sebuah gelar akademik yang diberikan oleh sebuah perguruan tinggi, yang kapan saja bisa ditarik oleh yang memberi. Oleh karena itu, si pemilik wajah itu haruslah berhati-hati dalam berprilaku, termasuk dalam berbahasa.
Jika Goffman (1967) menyebutkan bahwa wajah adalah atribut sosial, maka Brown dan Levinson (1987) menyebutkan bahwa wajah merupakan atribut pribadi yang dimiliki oleh setiap insan dan bersifat universal. Dalam teori ini, wajah kemudian dipilah menjadi dua jenis: wajah dengan keinginan positif (positive face), dan wajah dengan keinginan negatif (negative face). Wajah positif terkait dengan nilai solidaritas, ketakformalan, pengakuan, dan kesekoncoan. Sementara itu, wajah negatif bermuara pada keinginan seseorang untuk tetap mandiri, bebas dari gangguan pihak luar, dan adanya penghormatan pihak luar terhadap kemandiriannya itu (Aziz, 2008:2). Melihat bahwa wajah memiliki nilai seperti yang telah disebutkan, maka nilai-nilai itu patut untuk dijaga, dan salah satu caranya adalah melalui pola berbahasa yang santun, yang tidak merusak nilai-nilai wajah itu.
Kesantunan itu sendiri memiliki makna yang berbeda dengan kesopanan. Kata sopan memiliki arti menunjukkan rasa hormat pada mitra tutur, sedangkan kata santun memiliki arti berbahasa (atau berprilaku) dengan berdasarkan pada jarak sosial antara penutur dan mitra tutur. Konsep wajah di atas benar-benar berkaitan dengan persoalan kesantunan dan bukan kesopanan. Rasa hormat yang ditunjukkan melalui berbahasa mungkin berakibat santun, artinya, sopan berbahasa akan memelihara wajah jika penutur dan mitra tutur memiliki jarak sosial yang jauh (misalnya antara dosen dan mahasiswa, atau anak dan ayah). Meskipun demikian, bersikap santun dalam berbahasa seringkali tidak berakibat sopan, terlebih lagi jika penutur dan mitra tutur tidak memiliki jarak sosial yang jauh (teman sekerja, konco, pacar, dan sebagainya).
Kesantunan merupakan suatu perilaku dimana sesorang menghormati dan menghargai baik kepada orang yang lebih tua darinya maupun orang yang seumuran dengannya.Kesantunan seseorang sangat diperlukan dalam menjalankan kehidupan sehari-hairnya karena itu merupakan modal awal untuk menunjukkan kebaikan yang dimiliki terhadap seseorang. Dengan kesantunan, maka seseorang yang kita ajak berinteraksi akan berbalik menghormati kita.
Kalangan remaja pada saat ini memiliki tingkat kesantunan yang labil.Hal ini diakibatkan karena seorang remaja tersebut memilah-milah mana yang mesti mereka hormati dan yang tidak mesti mereka hormati.Kalangan remaja saat ini kebanyakan menghormati orang yang diseganinya saja. Terkadang juga, seorang remaja hanyalah melakukan penghormatan apabila seseorang yang ia segani itu sedang berbicara atau bahkan berada di dekatnya. Namun, setelah orang yang diseganinya itu telah pergi, maka sifat seorang remaja itupun kembali seperti pada awalnya.
Kesantunan juga dapat dilihat dari segi ragam bahasa yang digunakan oleh seorang remaja.Kebanyakan remaja sekarang ini tidak tau menau kapan mereka harus bebicara dengan ragam bahasa yang menyimpang dan ragam bahasa yang benar.Hal ini disebabkan karena kurangnya perhatian seorang remaja terhadap etika dalan berbahsa dan bebicara.Terkadang pula seorang remaja menggunakan Ragam bahasa yang tidak lazim apabila sedang berbicara dengan orang yang lebih tua darinya, sehingga biasanya menimbulkan kesalahpahaman yang berujung pada ketidakbaikan diantara mereka.
F. Bahasa dan Gender
1. Pengertian Gender
Sejak dua dasawarsa terakhir, diskursus tentang gender sudah mulai ramai dibicarakan orang. Berbagai peristiwa seputar dunia perempuan di berbagai penjuru dunia ini juga telah mendorong semakin berkembangnya perdebatan panjang tentang pemikiran gerakan feminisme yang berlandaskan pada analisis “hubungan gender”.
Berbagai kajian tentang perempuan digelar, di kampus-kampus, dalam berbagai seminar, tulisan-tulisan di media massa, diskusi-diskusi, berbagai penelitian dan sebagainya, yang hampir semuanya mempersoalkan tentang diskriminasi dan ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan. Pusat-pusat studi wanita pun menjamur di berbagai universitas yang kesemuanya muncul karena dorongan kebutuhan akan konsep baru untuk memahami kondisi dan kedudukan perempuan dengan menggunakan perspektif yang baru.
Dimasukkannya konsep gender ke dalam studi wanita tersebut, menurut Sita van Bemmelen paling tidak memiliki dua alasan. Pertama, ketidakpuasan dengan gagasan statis tentang jenis kelamin. Perbedaan antara pria dan wanita hanya menunjuk pada sosok biologisnya dan karenanya tidak memadai untuk melukiskan keragaman arti pria dan wanita dalam pelabagi kebudayaan. Kedua, gender menyiratkan bahwa kategori pria dan wanita merupakan konstruksi sosial yang membentuk pria dan wanita. (dalam Ibrahim dan Suranto, 1998: xxvi)
Namun ironisnya, di tengah gegap gempitanya upaya kaum feminis memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender itu, masih banyak pandangan sinis, cibiran dan perlawanan yang datang tidak hanya dari kaum laki-laki, tetapi juga dari kaum perempuan sendiri. Masalah tersebut mungkin muncul dari ketakutan kaum laki-laki yang merasa terancam oleh kebangkitan perempuan atau mungkin juga muncul dari ketidaktahuan mereka, kaum laki-laki dan perempuan akan istilah gender itu sendiri dan apa hakekat dari perjuangan gender tersebut.
Bertolak dari fenomena tersebut maka konsep penting yang harus dipahami terlebih dahulu sebelum membicarakan masalah perempuan ini adalah perbedaan antara konsep seks (jenis kelamin) dengan konsep gender. Pemahaman yang mendalam atas kedua konsep tersebut sangatlah penting karena kesamaan pengertian (mutual understanding) atas kedua kata kunci dalam pembahasan bab ini akan menghindarkan kita dari kemungkinan pemahaman-pemahaman yang keliru dan tumpang tindih antara masalah-masalah perempuan yang muncul karena perbedaan akibat seks dan masalah-masalah perempuan yang muncul akibat hubungan gender, disamping itu juga untuk memudahkan pemahaman atas konsep gender yang merupakan kata dan konsep asing ke dalam konteks Indonesia.
Selama lebih dari sepuluh tahun istilah gender meramaikan berbagai diskusi tentang masalah-masalah perempuan, selama itu pulalah istilah tersebut telah mendatangkan ketidakjelasan-ketidakjelasan dan kesalahpahaman tentang apa yang dimaksud dengan konsep gender dan apa kaitan konsep tersebut dengan usaha emansipasi wanita yang diperjuangkan kaum perempuan tidak hanya di Indonesia yang dipelopori ibu Kartini tetapi juga di pelbagai penjuru dunia lainnya.
Kekaburan makna atas istilah gender ini telah mengakibatkan perjuangan gender menghadapi banyak perlawanan yang tidak saja datang dari kaum laki-laki yang merasa terancam “hegemoni kekuasaannya” tapi juga datang dari kaum perempuan sendiri yang tidak paham akan apa yang sesungguhnya dipermasalahkan oleh perjuangan gender itu.
Konsep gender pertama kali harus dibedakan dari konsep seks atau jenis kelamin secara biologis. Pengertian seks atau jenis kelamin secara biologis merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis, bersifat permanen (tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan), dibawa sejak lahir dan merupakan pemberian Tuhan; sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan.
Melalui penentuan jenis kelamin secara biologis ini maka dikatakan bahwa seseorang akan disebut berjenis kelamin laki-laki jika ia memiliki penis, jakun, kumis, janggut, dan memproduksi sperma . Sementara seseorang disebut berjenis kelamin perempuan jika ia mempunyai vagina dan rahim sebagai alat reproduksi, memiliki alat untuk menyusui (payudara) dan mengalami kehamilan dan proses melahirkan. Ciri-ciri secara biologis ini sama di semua tempat, di semua budaya dari waktu ke waktu dan tidak dapat dipertukarkan satu sama lain.
Berbeda dengan seks atau jenis kelamin yang diberikan oleh Tuhan dan sudah dimiliki seseorang ketika ia dilahirkan sehingga menjadi kodrat manusia, istilah gender yang diserap dari bahasa Inggris dan sampai saat ini belum ditemukan padanan katanya dalam Bahasa Indonesia, ---kecuali oleh sebagian orang yang untuk mudahnya telah mengubah gender menjadi jender--- merupakan rekayasa sosial, tidak bersifat universal dan memiliki identitas yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh faktor-faktor ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, etnik, adat istiadat, golongan, juga faktor sejarah, waktu dan tempat serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. (Kompas, 3 September 1995)
Oleh karena gender merupakan suatu istilah yang dikonstruksi secara sosial dan kultural untuk jangka waktu yang lama, yang disosialisasikan secara turun temurun maka pengertian yang baku tentang konsep gender ini pun belum ada sampai saat ini, sebab pembedaan laki-laki dan perempuan berlandaskan hubungan gender dimaknai secara berbeda dari satu tempat ke tempat lain, dari satu budaya ke budaya lain dan dari waktu ke waktu. Meskipun demikian upaya untuk mendefinisikan konsep gender tetap dilakukan dan salah satu definisi gender telah dikemukakan oleh Joan Scoot, seorang sejarahwan, sebagai “a constitutive element of social relationships based on perceived differences between the sexes, and…a primary way of signifying relationships of power.” (1986:1067)
Sebagai contoh dari perwujudan konsep gender sebagai sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan budaya, misalnya jika dikatakan bahwa seorang laki-laki itu lebih kuat, gagah, keras, disiplin, lebih pintar, lebih cocok untuk bekerja di luar rumah dan bahwa seorang perempuan itu lemah lembut, keibuan, halus, cantik, lebih cocok untuk bekerja di dalam rumah (mengurus anak, memasak dan membersihkan rumah) maka itulah gender dan itu bukanlah kodrat karena itu dibentuk oleh manusia.
Gender bisa dipertukarkan satu sama lain, gender bisa berubah dan berbeda dari waktu ke waktu, di suatu daerah dan daerah yang lainnya. Oleh karena itulah, identifikasi seseorang dengan menggunakan perspektif gender tidaklah bersifat universal. Seseorang dengan jenis kelamin laki-laki mungkin saja bersifat keibuan dan lemah lembut sehingga dimungkinkan pula bagi dia untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan pekerjaan-pekerjaan lain yang selama ini dianggap sebagai pekerjaan kaum perempuan. Demikian juga sebaliknya seseorang dengan jenis kelamin perempuan bisa saja bertubuh kuat, besar pintar dan bisa mengerjakan perkerjaan-pekerjaan yang selama ini dianggap maskulin dan dianggap sebagai wilayah kekuasaan kaum laki-laki.
Disinilah kesalahan pemahaman akan konsep gender seringkali muncul, dimana orang sering memahami konsep gender yang merupakan rekayasa sosial budaya sebagai “kodrat”, sebagai sesuatu hal yang sudah melekat pada diri seseorang, tidak bisa diubah dan ditawar lagi. Padahal kodrat itu sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, antara lain berarti “sifat asli; sifat bawaan”. Dengan demikian gender yang dibentuk dan terbentuk sepanjang hidup seseorang oleh pranata-pranata sosial budaya yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi bukanlah bukanlah kodrat.
2. Hubungan Bahasa dan Gender
Hal yang jarang disentuh oleh ahli bahasa dalam membahas polemik kebahasaan adalah tentang jenis kelamin atau sebut saja dengan istilah “gender” dalam berbahasa. Maka itu, sebagai sebuah refleksi bulan bahasa yang memang bertepatan pada bulan ini, 28 Oktober, kita lihat sekilas bahasa dalam kaitannya terhadap relasi gender.
Bahasa dalam gender yang saya maksudkan pada warkah ini adalah pengungkapan, gaya, dan kemungkinan soal ketabuan bahasa yang diucapkan oleh si penutur, baik lelaki maupun perempuan. Hal ini memang perkara sederhana, tetapi ini pulalah yang “jauh” dari kajian para pakar. Padahal, jika benar-benar ditilik, ternyata kosa kata tertentu yang hidup dan diucapkan dalam masyarakat kita, cenderung mengalami ketidakseimbangan gender. Artinya, soal gender dalam bahasa seyogianya juga bisa jadi telaah para “aktivis gender” sehingga tidak memaknai relasi gender hanya pada pekerjaan dan pakaian semata.
Sejauh ini, para ahli psikologi banyak berkesimpulan bahwa bahasa laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan. Perbedaan itu sederhananya ditekankan pada nada dan intonasi. Selanjutnya, perempuan kerap jadi subordinasi kaum laki dalam bahasa yang diwujudkan pada berbagai unsur kosa kata, ugkapan, istilah, dan tataran gramatikalnya. Hal ini sudah menggejala hampir ke semua ranah. Misalnya saja dalam bidang pekerjaan asusila, pada perempuan melekat istilah PSK, pelacur, lonte, murahan, tante girang, dan sejenisnya. Sedangkan bagi lelaki yang suka melakoni ‘pekerjaan’ yang sama, hanya mendapat istilah “hidung belang” dan “mata keranjang”. Ini menunjukkan bahwa subordinasi bahasa terhadap perempuan lebih banyak daripada untuk kaum laki.
Masih pada tataran yang sama, dalam ungkapan emosional semisal makian atau kejengkelan pun, kosa kata yang banyak digunakan mengacu pada “barang/alat” dalam milik perempuan. Hal ini berlaku hampir pada semua bahasa di semesta, misalnya bahasa Aceh, kita kenal ungkapan (maaf) pukoima, papleumo, aneuk tét mie, ‘ok mai, brét ma keuh, dan lain-lain. Semua sebutan itu mengacu pada bagian-bagian tertentu perempuan. Sedangkan pada lelaki, kalaupun ada maksud untuk ungkapan serupa, hanya beberapa kosa kata seperti boh dan krèh. Ungkapan emosional seperti itu juga berlaku pada bahasa Indonesia. Kita mengenal istilah pukimaknya itu yang merupakan “bagian dalam” kaum perempuan. Sangat jarang ditemukan ungkapan negatif demikian yang diambil dari “punya” kaum lelaki.
Kasus ini seakan menegaskan posisi kaum perempuan sebagai ‘warga kelas dua’ di dunia. Hal tersebut semakin kentara pada pemakaian nama belakang yang kerap diambil dari nama “bapak/ayah”. Akibatnya, begitu lahir, bayi perempuan kerap menyandang nama ayahnya walaupun tidak melekat menjadi semacam marga. Misalnya, bayi perempuan yang baru lahir memiliki bapak bernama Ibrahim, bayi tersebut akan disebut anak si Ibrahim atau nama ayahnya langsung melekat pada nama si bayi/anak, seperti Mutia Ahmat yang maksudnya Mutia binti Ahmat. Kemudian, ketika si perempuan sudah menikah, ia menyandang pula nama suaminya, seperti Marlinda Abdullah Puteh, Nani Yudhoyono.
Konsep ini berkenaan dengan “tabu” dalam ilmu bahasa. Artinya, ada sejumlah kata tertentu yang apabila diucapkan akan dipahami maknanya sebagai suatu bagian yang “tabu” atau pantang. Ironis, pantang pengucapan tersebut kebanyakan dititikberatkan pada perempuan yang lagi-lagi mengakibatkan kaum perempuan terdiskriminasi.
Hal semacam ini tentu saja berpengaruh pada relasi gender. Masih untung di daerah kita yang menjunjung tinggi budaya ketimuran, penggunaan bahasa pada lelaki dan perempuan tidak sampai separah itu. Namun demikian, yang mesti kita kurangi adalah pengucapan kosa kata yang mendeskreditkan perempuan semisal untuk ungkapan emosional seperti di atas sehingga antara lelaki dan perempuan tetap memiliki kesetaraan bahasa. Semoga bahasa kita tetap jaya.
G. Kerangka Pikir
Remaja Masa Kini
|
Penggunaan Ragam Bahasa
|
Perspketif Gender
|
Penyimpangan
|
Penyebab
|
Cara Mengatasi
|
Penyelesaian Masalah
|
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif yakni penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran atas penggunaan ragam bahasa yang menyimpang secara konkret, jelas, dan langsung pada objek penelitian dengan berbagai fenomena ragam bahasa yang terjadi dan diteliti dengan berbagai teknik.
B. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian yang dilakukan mengambil lokasi atau tempat di sekitar Sekolah Menengah Atas Negeri 5 Makassar tepatnya berada di Jalan Taman Makam Pahlawan No. 4, Makassar, Sulawesi Selatan. Waktu Penelitian berlangsung selama 11 sampai 20 Oktober 2011.
C. Populasi dan Sampel
Pada penelitian ini populasi yang diteliti adalah siswa-siswi Sekolah Menengah Atas Negeri 5 Makassar. Sedangkan untuk sampelnya yaitu 6 orang siswa-siswi Sekolah Menengah Atas Negeri 5 Makassar.
D. Data dan Sumber Data
1. Data
Data penelitian ini adalah kata-kata atau kalimat (bahasa verbal) yang digunakan oleh siswa-siswi Sekolah Menengah Atas Negeri 5 Makassar.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah penggunaan bahasa oleh siswa-siswi Sekolah Menengah Atas Negeri 5 Makassar.
D. Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan adalah ragam bahasa yang digunakan siswa-siswi Sekolah Menengah Atas Negeri 5 Makassar. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teknik observasi, teknik rekaman, teknik simak, dan teknik kepustakaan. Penggunaan teknik itu sangat kondusif dan situasional dengan pendekatan penelitian yang diakukan (deskriptif kualitatif).
1. Teknik observasi langsung, yaitu teknik yang dilakukan dengan mengamati dan mencatat secara sistematik unsur-unsur yang tampak dalam suatu gejala atau gejala-gejala pada objek penelitian. Dalam melakukan penelitian, peneliti melakukan pengamatan langsung di lapangan dengan menggunakan teknik catat. Orientasi observasi diarahkan pada penggunaan bahasa siswa-siswi Sekolah Menengah Atas Negeri 5 Makassar ketika berinteraksi antar sesama mereka.
2. Teknik simak adalah teknik untuk memperoleh keterangan lisan dan keterangan informan (informan kunci). Penggunaan teknik itu dimaksudkan agar data yang diperoleh di lapangan akurat, valid, dan responsibel.
3. Teknik catat. Teknik ini dilakukan dengan mencatat data hasil observasi, perekaman, dan simak ke dalam kartu data yang telah disiapkan.
4. Teknik rekaman. Teknik ini digunakan untuk merekam pembicaraan siswa-siswi Sekolah Menengah Atas Negeri 5 Makassar ketika berinteraksi antar sesama mereka.
5. Teknik kepustakaan. Teknik yang digunakan dengan cara pengambilan data-data yang akan digunakan dalam penelitian bersumber dari literatur-literatur, buku, maupun sumber data yang diperoleh di luar dari hasil temuan lapangan yang masih relevan
E. Teknik Analisis Data
Penelitian ini tergolong penelitian analisis deskriptif kualitatif. Oleh karena itu, semua data dan informasi yang telah dikumpul dideskripsikan secara objektif. Pada penelitian kali ini, analisis data akan dilakukan dengan cara membuat tabel data dan sekilas percakapan yang diperoleh dari lapangan yang berkaitan dengan teori penelitian ini.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Penggunaan Penyimpangan Ragam Bahasa di Kalangan Remaja Beserta Pengaruhnya terhadap Tatanan Sosial Remaja Modern
a. Penggunaan Ragam Bahasa Gaul
Setelah melakukan penelitian berdasarkan dengan metode yang digunakan, maka dapat dipaparkan beberapa contoh kata-kata ragam bahasa yang menyimpang sesuai dengan kebiasaan siswa-siswi SMA NEGERI 5 MAKASSAR.
Tabel 1. Data Penggunaan Ragam Bahasa Gaul
Kata yang Menyimpang
|
Makna Sebenarnya
|
1. Papi, Pace, Pipi, Bokap
2. Mami, Mace, Mimi,Nyokap
3. Kace
4. Loe, Ko,Ki
5. Gue
6. Pigi
7. Wey
8. Bikin
9. Lebay
10. Biarin
11. Bilang
12. Banget
13. Aja
14. Bro,Ca’, Coy
15. Nembak
16. Yo’I, Bah
17. Emang
18. Mampus
19. Alay, Kool
20. Jayus
21. Garing
22. Maneketehe
23. Begicyu
24. Och
25. Cing
26. Ember
27. Pliss dule
28. Yiuk
29. Ajib
30. Gituloh
31. Bete
32. Jutek
33. Katro
34. Prikitiu
35. Jablay
36. Bokep
37. Bacot
38. Makaci
39. Parno
40. Jadian
41. Jaim
|
1. Ayah
2. Ibu
3. Kakak
4. Kamu
5. Saya
6. Pergi
7. Hai (Sapaan)
8. Membuat
9. Berlebihan
10. Biarkan
11. Katakan
12. Sangat
13. Saja
14. Teman (Sapaan untuk teman dekat)
15. Menyatakan cinta
16. Iya
17. Memang
18. Tamat / Habis
19. Hal yang norak/Kampungan
20. Lelucon yang tidak lucu
21. Tidak Lucu
22. Mana saya tahu
23. Begitu
24. Oh (menyatakan hal yang dimengerti)
25. Sahabat (Sapaan untuk teman dekat)
26. Memang begitu
27. Kumohon (Ungkapan dalam memohon)
28. Marilah (Suatu kalimat ajakan)
29. Asyik,enak,mantap
30. Seperti ini
31. Malas
32. Sombong (Menyatakan sifat seseorang)
33. Kampungan (Menyatakan seseorang)
34. (Celutukan yang bermaksud menyindir)
35. Orang yang tidak mendapatkan kekasih
36. Porno
37. Alasan
38. Makasih
39. Takut yang berlebihan
40. Pacaran
41. Menjaga Martabat Diri
|
Adapun beberapa contoh lain yang penulis rekam dari percakapan antara 2 orang siswa dari sampel penelitian kami yaitu :
Dlg : Weiy Ca’, coba pinjamka’ dlue bukumu ?.
Iks : Yang manayya ?.
Dlg : Itu sanae.
Iks : Ohh, yang ini ?.
Dlg : Yo’i bah.
Iks : Mauko apaikah ?.
Dlg : Ka tidak ji, mauja’ liatki.
Iks : Ine.
Dlg : Ihh, lebay nah caranu bikinki.
Iks : Ka biarmi. kenapako sibukka kah ?.
Dlg : Och begicyu, ini e terima kasih padeng.
Makna sebenarnya :
Dlg : Hai teman, bisakah saya meminjam bukumu ?.
Iks : Buku yang mana ?.
Dlg : Buku yang disebelah sana.
Iks : Maksudmu, yang ini ?.
Dlg : Iya, yang itu.
Iks : Apa yang akan kamu buat pada bukuku ?.
Dlg : Tidak. Saya hanya ingin melihatnya sebentar.
Iks : Ini bukuku
Dlg : Kenapa cara kamu membuatnya terlalu berlebihan?.
Iks : Biarkan saja. kenapa kamu ikut campur ?.
Dlg : Oh begitu, ini bukumu. Terima kasih banyak.
Dari tabel dan percakapan diatas,dapat diperoleh hasil penelitian bahwa penggunaan ragam bahasa dikalangan remaja yaitu penggunaan modifikasi bahasa dari bahasa Indonesia yang terdengar asing di telinga pendengar atau dikatakan juga sebagai bahasa “gaul” dalam berkomunikasi sehingga dampaknya akan membuat bahasa yang digunakan dapat mengancam keberadaan bahasa Indonesia di mata Remaja sehingga bahasa Indonesia tidak berlaku sehingga mereka tidak mencintai bangsanya.
b. Penggunaan Ragam Bahasa Tabu (Bahasa Kotor)
Penggunaan bahasa remaja modern dari perspektif gender yang sering terjadi dikalangan remaja maka dari itu penulis mencatat percakapan seorang remaja wanita dan dua orang remaja laki-laki di bawah ini :
Frd (laki-laki) : wets, cantikna tawwana’ e. berapa ku sewa ko satu malam kah ?.
Pcl (laki-laki) : iyo, we ikutka’ juga nah.
Mth (perempuan) : wei, suntili’ ji iniee ko bilang saya cewek murahan, telaso !!.
Frd : Ih, ka main-main ja’, baru begitu marahmako.
Pcl : Iyo, ca’ tidak tahu diajak main-main ini cewek.
Mth : Ih biarmi, kau juga jaga mulut mu sundala’.
Makna Sebenarnya :
Frd : Hai kamu kelihatan cantik hari ini, berapa yang saya bayar untuk melayani (nafsu) ku nanti malam ?.
Pcl : Iya, saya juga mau ikut.
Mth : Hei, (Suatu sindiran yang keras) kamu yah. Kamu pikir saya cewek murahan (Merujuk pada kelamin lelaki) ?.
Frd : Saya hanya bercanda, begitu saja marah.
Pcl : Iya teman, cewek ini tidak tahu diajak bercanda.
Mth : Biar saja, kamu juga jaga mulutmu, (Merujuk kepada orang yang tidak punya ibu)
Dari percakapan diatas, diperoleh hasil penelitian bahwa penggunaan bahasa pada kalangan remaja menggunakan bahasa kotor,kasar,dan sangat tidak sopan kepada pendengarnya akibat dari perspektif gender yang terjadi. Sehingga dampaknya nanti akan menghancurkan tingkat kesantunan dan kesopanan mereka kepada teman,guru bahkan orang tua mereka sendiri jika telah menjadi suatu kebiasaan sehingga tidak ada perasaan menyegani lawan bicara mereka dengan demikian dapat menghancurkan hubungan sosial mereka kepada orang lain. Apalagi jika dikatakan oleh remaja perempuan sehingga sungguh sangat tidak etis bila diucapkan oleh seorang perempuan karena pada umumnya perempuan memiliki sifat yang halus tidak sama pada remaja laki-laki yang terkadang keras dan kasar sehingga dikatakan “wajar” untuk melontarkan bahasa kotor tersebut tetapi, bahasa kotor tersebut benar-benar perlu dihapuskan.
2. Penyebab Terjadinya Penggunaan Penyimpangan Ragam Bahasa di Kalangan Remaja Modern
Berdasarkan kasus pada point ‘a’ yaitu mengenai ragam bahasa gaul, maka dapat dihasilkan suatu penyebab terjadinya ragam bahasa gaul tersebut karena akibat dari remaja tersebut yang mendapatkan suatu dorongan untuk membuat suatu bahasa yang digunakan untuk menarik perhatian lawan bicara serta ingin menjadi remaja yang modern dan tidak ingin ketinggalan informasi mengenai perkembangan zaman sekarang. Selain itu, juga karena mereka tidak menghargai bahasa negeri tercinta yaitu bahasa Indonesia yang menjadi ciri khas dan identitas negara Indonesia selain itu, bahasa gaul tersebut muncul secara spontanitas dan menyesuaikan dengan keadaan yang ada.
Berdasarkan kasus pada point ‘b’ yaitu mengenai ragam bahasa kotor, maka dihasilkan suatu penyebab terjadinya ragam bahasa kotor tersebut karena akibat dari adanya perspektif gender yaitu dimana kebutuhan bahasa yang umumnya dikatakan oleh remaja laki-laki dikatakan pula oleh remaja perempuan.
Perspektif gender ini terjadi akibat adanya suatu kebutuhan yang ingin di sejajarkan kepada jenis kelamin lain dari segi bahasa. Seperti, karena remaja laki-laki yang umumnya mengucapkan bahasa kotor tersebut membuat remaja perempuan “cemburu” karena tidak adanya kata pelampiasan sehingga terjadilah bahasa kotor.
3. Cara Mengatasi Penggunaan Penyimpangan Ragam Bahasa di Kalangan
Remaja modern
Pada masalah yang mengenai ragam bahasa gaul, dapat ditemukan cara untuk mengatasi masalah ini yaitu dengan menanamkan rasa bangga dalam hati remaja terhadap bahasa Indonesia yang sebenarnya dan lebih menghargai penggunaan bahasa Indonesia serta tidak terpengaruh masuknya bahasa asing yang mempengaruhi bahasa Indonesia dan kita juga dapat mengatasi masalah ini yaitu dengan memilah-milah bahasa yang mempengaruhi bahasa Indonesia dari luar.
Pada masalah yang mengenai ragam bahasa kotor, dapat ditemukan cara untuk mengatasi masalah ini yaitu dengan meninggalkan dan menghindari bahasa-bahasa kotor, menghargai dan menghormati lawan bicara dalam pembicaraan serta mempedulikan kesantunan berbicara kepada teman terutama kepada orang yang lebih tua.
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelian yang telah dipaparkan, maka dapat dijawab tiga rumusan masalah pada penelitian ini, yaitu penggunaan ragam bahasa yang terjadi dikalangan remaja seperti, pada penggunaan bahasa gaul dan bahasa kotor sehingga pengaruhnya nanti pada masa depan yakni, membuat bahasa Indonesia semakin tidak di hargai dan tingkat kesantunan dalam pembicaraan semakin bobrok dan rusak akibat bahasa kotor ini karena pada bahasa kotor tersebut bahasanya sangat mengandung makna yang benar-benar sangat menyinggung perasaan orang lain dalam berkomunikasi dan dapat pula menyebabkan ketidakbakuan struktur bahasa Indonesia yang sebenarnya dan merusak kosa-kata bahasa Indonesia dengan penggunaan bahasa gaul dan bahasa kotor ini
Serta membuat kalangan orang tua semakin prihatin terhadap anaknya yang berada pada masa remaja akibat dari penggunaan bahasa tersebut. Selain itu juga komunikasi antara remaja dengan orang tuanya semakin tidak tersambung dengan dengan adanya ragam bahasa yang menyimpang ini untuk itu modifikasi bahasa ini sangat perlu untuk diminimalisir bahkan sangat penting untuk dihapuskan. selain itu juga dari penggunaan bahasa yang menyimpang ini tingkat kesantunan remaja terhadap orang disekitarnya semakin menurun dan dapat menyinggung lawan bicara mereka sehingga pada ujungnya menyebabkan tatanan sosial pada masyarakat akan semakin hancur dan rusak. Selain itu juga dapat memancing amarah lawan bicara terutama jika seorang remaja menggunakan bahasa kotor tersebut
Dengan demikian, penyebab terjadinya masalah ini yaitu karena remaja telah menjadikan bahasa ini menjadi suatu kebiasaan yang diucapkan berulang-ulang kali dan bertindak tanpa berpikir panjang pada masalah yang terjadi kedepan. Dan juga akibat kurangnya rasa menghargai tatanan bahasa yang telah ditetapkan karena sebagai seorang remaja dan pemuda Indonesia sangat perlu menerapkan bahasa kita tercinta yaitu bahasa Indonesia. Hal itu juga datang karena disebabkan oleh keinginan seorang remaja untuk mempermudah cara berbicara mereka dan membuat dirinya merasa berbeda dari teman sebayanya sehingga dapat menarik perhatian lawan bicaranya.
Artinya bahwa yang terjadi akibat adanya keinginan seorang remaja untuk membuat suatu kata yang baru dan menarik dan tanpa mereka sadari bahwa kata yang mereka buat itu melenceng dari tatanan bahasa yang telah ditetapkan. Kreasi akan menciptakan sebuah kata yang baru, disebakan karena adanya pergaulan dan rasa ingin lebih yang dimiliki oleh sekalangan remaja terhadap teman sebayanya. Penyimpangan ragam bahasa yang dilakukan oleh sekalangan remaja disebabkan juga karena adanya perilaku “ikut-ikutan” dengan teman sebayanya. Sehingga dampak kedepannya sangat merusak tatanan sosial di masyarakat.
Penyimpangan ini umumnya terjadi karena tidak ada pandangan masalah terhadap kalangan remaja karena tidak adanya hukum yang mengikat dan peringatan dari guru yang masih kurang. Peringatan yang berasal dari guru pun hanyalah dalam lingkup guru bahasa saja.
Pada masalah yang mengenai bahasa kotor yang diucapkan oleh seorang remaja perempuan terjadi akibat adanya perspektif gender yaitu pandangan atau keinginan untuk ingin mensejajarkan sesuatu hal terutama juga karena sisi bahasanya. Karena pada umumnya bahasa kotor tersebut sering terlontar dari mulut remaja laki-laki namun tidak dipungkiri pada hasil penelitian kali ini ditemukan bahwa remaja perempuan juga menggunakan bahasa “terlarang” ini karena mereka ingin merasa sama atau setara dengan remaja laki-laki yang sering menggunakan bahasa seperti ini tapi, pada kodrat bahasanya sungguh sangat tidak etis jika seorang perempuan apalagi remaja mengatakan hal yang seperti itu didepan lawan bicara mereka
Pada umumnya perempuan itu adalah makhluk ciptaan tuhan yang sangat halus dan indah dalam tutur kata bahasanya sehingga jika ia mengatakan bahasa ini didepan umum maka lingkungannya akan menilai bahwa perempuan ini benar-benar sangat menyimpang dari segi ragam bahasa yang digunakannya dan juga karena akibat tidak adanya kata-kata pelampiasan ketika suasana hati remaja perempuan tersebut sedang marah ataupun semacamnya sehingga bahasa yang tadinya sering digunakan oleh laki-laki maka dikatakan pula oleh perempuan karena mengingat kebutuhan bahasa yang menyimpang tersebut dianggap perlu disetarakan oleh kaum remaja perempuan.
Untuk cara mengatasi penyimpangan ini terlalu sulit untuk dihilangkan dan tak semudah membalikkan telapak tangan. Namun, sebagai remaja kita bisa meminalisirkan penyimpangannya. Sebagai seorang remaja, kita harus belajar menghargai bahasa kita sendiri. Karena bahasa merupakan warisan leluhur yang sangat istimewa dan sulit untuk diciptakan. Sebagai remaja, kita juga tidak boleh mengikuti alur perkembangan yang mengarahkan kita kearah yang salah. Kita juga harus memilah-milah budaya yang masuk ke negara kita, karena apabila bukan kita para remaja dan pemuda penerus bangsa, maka siapa lagi?
Penyimpangan ini hanya dianggap sepele bagi sekalangan remaja, namun apabila terus dibiarkan maka dampak yang ditimbulkan sangatlah besar yakni merusak tatanan bahasa yang telah ditetapkan. Apabila tatanan bahasa telah rusak, maka sangatlah susah bagi penerus bangsa untuk mengembalikannya lagi. Jadi, sebelum semuanya terjadi, kita sebagai generasi penerus bangsa harus mencegahnya walaupun hasil yang didapatkan sangatlah minim. Jadi, bertindaklah dari sekarang untuk mempertahankan karakteristik bahasa kita kita yakni Bahasa Indonesia.
Selain itu, kita perlu menjaga kesantunan dan menghormati serta menghargai lawan bicara seperti teman atau bahkan keluarga dan orang tua remaja tersebut. Karena bila para remaja melakukan hal tersebut terwujud suatu tatanan sosial berkomunikasi yang sangat harmonis dan sangat terjalin dengan erat. Maka berbahasalah dengan menggunakan etika yang sebagaimana mestinya dan dapat diterima seluruh elemen masyarakat. Jangan gunakan ragam bahasa yang tidak semestinya dikatakan karena akan sangat menyinggung perasaan orang lain dan jangan pula memodifikasi bahasa Indonesia sehingga strukturnya akan menyimpang.
Dengan demikian, jauhkan para remaja dari bahasa yang sungguh sangat tidak etis ini karena sebagai pemuda penerus bangsa perlu melestarikan dan memanfaatkan bahasa negeri tercinta yaitu Bahasa Indonesia. Kalo ingin mencintai negara ini maka hal yang paling penting untuk dilakukan adalah gunakan bahasa Indonesia yang benar-benar Indonesia. Sehingga penerus bangsa kedepannya akan semakin menjunjung tinggi rasa bangga terhadap bahasanya sendiri.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penyajian hasil analisis data dan pembahasan, disimpulkan hasil karya ilmiah ini, yaitu:
1. Sebagian besar remaja menggunakan ragam bahasa yang menyimpang dengan dua faktor. Pertama, Faktor eksternal dan faktor internal sangat berpengaruh terhadap kepribadian remaja yang menyebabkan terjadinya penyimpangan ragam bahasa. Kedua, faktor internal menyebabkan keinginan seorang remaja untuk menghasilkan suatu kata yang baru namun tidak sesuai dengan tatanan bahasa yang telah ditetapkan. Faktor eksternal yang menyebabkan terjadinya penyimpangan ragam bahasa adalah karena adanya pengaruh dari pergaulan yang biasa disebut dengan “Gaul” dan adanya perspektif gender
2. Penyimpangan terjadi akibat kurangnya kesadaran dari sekalangan remaja dalam menghargai tatanan bahasa yang telah ditetapkan.
3. Cara mengatasi penyimpangan ini dengan menghargai bahasa Indonesia dan gunakan bahasa yang santun
B. Saran
Sesuai dengan hasil penelitian ini diajukan saran sebagai berikut:
1. Diharapkan agara remaja dapat menjunjung tinggi bahasa persatuannya yaitu bahasa Indonesia.
2. Diharapkan agar tidak terdapat lagi penggunaan ragam bahasa yang kotor yang terlontar dari mulut remaja laki-laki maupun perempuan
3. Diharapkan remaja dapat mencintai bahasa asli negara yaitu bahasa Indonesia
4. Diharapkan agar remaja dapat mencintai negaranya dari semua segi terutama bahasa.
5. Diharapkan agar semua orang terutama remaja yang telah membaca karya ilmiah kami, dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, E. A. 2000. Refusing in Indonesian: Strategies and Politeness Implications. Disertasi. Australia: Monash University.
Aziz, E. A. 2008. Horison Baru Teori Kesantunan Berbahasa: Membingkai yang Terserak, Menggugat yang Semu, Menuju Universalisme yang Hakiki. Pidato Pengukuhan Guru Besar, Indonesia: Universitas Pendidikan Indonesia.
Brown, P & S.C. Levinson. 1987. Universals in Language Usage: Politeness Phenomena. In E.N. Goody (ed).Questions and Politeness: Strategies in social interaction, 56-289. Cambridge: Cambridge University Press.
Budiman, Arief, Pembagian Kerja Secara Seksual, Sebuah Pembahasan Sosiologis tentang Peran Wanita di dalam Masyarakat. Jakarta, Gramedia,1985Fakih, Mansour, DR. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997
Chaer, Abdul dan Leoni, Agustina. 1995. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.
Deswita. 2006. Batasan Usia Remaja. http://belajarpsikologi.com/pengertian-remaja/ diakses 18 Oktober 2011
Goffman, E. 1967. Interaction Ritual. Garden City, NY: Doubleday.
Herman. 2009. Gender dalam Bahasa http://umum.kompasiana.com/2009/11/18/gender dalam-bahasa/. diakses 18 Oktober 2011.
Hurlock.1992.Pengertian Kepercayaan Diri. http://belajarpsikologi.com/pengertian-remaja/ diakses 18 Oktober 2011
Ibrahim, Idi Subandy dan Hanif Suranto, (ed). Wanita dan Media. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998
Illich, Ivan. Matinya Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia
Monks, dkk. 1994. Tugas Perkembangan Remaja. http://belajarpsikologi.com/pengertian-remaja/ diakses 18 Oktober 2011
Munir, Lily Zakiyah, (ed). Memposisikan Kodrat. Bandung: Mizan, 1999
Noor, H. M. Arifin, Drs. Ilmu Sosial Dasar. Bandung: Pustaka Setia, 1997
Santrock. 2003. Motivasi Belajar Anak Remaja. http://belajarpsikologi.com/pengertian-remaja/ diakses 18 Oktober 2011
Saptari, Ratna dan Brigitte Holzner. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial. Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997
Soelaeman, M. Munandar. Ir. MS. Ilmu Sosial Dasar, Teori dan Konsep Ilmu Sosial. Bandung: Refika Aditama, 1998
Sumarsono, M. Ed., 2002. Sosiolinguistik. Jakarta: Pustaka Belajar.
Thomas, J. 1995. Meaning in Interaction: An Introduction to Pragmatics. London: Longman. Yule, G. (2008). Pragmatik. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Zainurrahman. 2011. Teori Kesantunan Berbahasa. http://zainurrahman. wordpress.com/2011/02/27/teori-kesantunan-berbahasa/. diakses 18 Oktober 2011.
Zakiah, Drajat. 1990. Kenakalan Remaja. http://belajarpsikologi.com/pengertian-remaja/ diakses 18 Oktober 2011
LAMPIRAN
A. Dokumentasi Penelitian
Foto ini diambil tanpa sepengetahuan objek dengan menggunakan kamera tersembunyi
RIWAYAT PENULIS
Muhammad Izzad Kaisar lahir di Ujung Pandang 12 Juli 1995. Ia adalah anak pasangan dari Drs.H.Ambo Tang dan Alm.Dra.Hj.Neng Lilis Kurniati. Ia adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ia menempuh pendidikan pertama kali di TK BLKI Makassar pada tahun 2000 selama setahun. Lalu setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di SD Inpres Tello Baru II pada tahun 2001 selama 6 tahun. Kemudian ia melanjutkan studinya ke SMP Negeri 08 Makassar pada tahun 2007 selama 3 tahun. Hingga sekarang ia masih melanjutkan studinya di SMA Negeri 05 Makassar, di Kelas XI IPA 1.
Ia aktif dalam organisasi Remaja Masjid Nurut Tarbiyah (RAMNUT) dengan jabatan sebagai ketua Seksi Hubungan Masyarakat (Humas). Ia mempunyai hobi bermain game dan belajar apapun yang menarik untuk dipelajari termasuk Karya Ilmiah ini. Ia bercita-cita ingin menjadi seorang dosen di universitas ternama Indonesia. Ia berharap dengan karya ilmiah ini membuat pembaca umumnya remaja termotivasi untuk menyadari dan menghargai betapa pentingnya karunia bahasa Indonesia yang telah di berikan di negeri kita tercinta ini dan semoga bahasa Indonesia tersebut tidak disalahgunakan untuk hal-hal yang negatif. Selamat memperingati bulan bahasa.
Assalamu Alaikum Wr. Wb.
Nama lengkap saya adalah Mohammad Dwika Maharditya.Saya merupakan anak ke dua dari pasangan Nyambang dan Yuni Reddisusilowati yang lahir pada 14 Juli 1994.Saya merupakan anak yang simpel namun membingungkan.Hal ini karena bawaan saya yang sudah seperti itu.Saya juga merupakan anak yang penuh cita-cita dan tentunya kreasi.Tak mau cuma bicara, tapi prakteknyalah yang perlu.Namun dari berbagai cita-cita saya, Cuma 1 cita-cita yang ingin saya gapai, yakni menjadi seseorang Direktur Perusahaan Pertambangan. Amin….
Assalamu Alaikum Wr. Wb.
Zulfadli Ibrahim lahir di Ujung Pandang 30 Desember 1994. Ia adalah anak pasangan dari Drs.Ibrahim Runa dan Indo Unga. Ia adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ia menempuh pendidikan pertama kali di TK Kartika Wirabhuana Makassar pada tahun 2000. Lalu setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di SD Negeri Paccinang pada tahun 2001 selama 6 tahun. Kemudian ia melanjutkan studinya ke SMP Negeri 08 Makassar pada tahun 2007 selama 3 tahun. Hingga sekarang ia masih melanjutkan studinya di SMA Negeri 05 Makassar, di Kelas XI IPA 4. Sekarang ia aktif dalam ekstrakurikuler RAMNUT.
Harapan saya sebagai salah satu penulis, yaitu memberitahukan kepada teman pembaca bahwa mempertahankan bahasa yang kita miliki itu sangatlah pentig.Dan sebagai seorang warga Negara, kita memang mempunyai tanggung jawab untuk menjaga salah satu kebudayaan leluhur kita yaitu bahasa.Jadi, semoga setelah para teman atau siapapun yang telah membaca ini, haitnya bias langsung tergugah untuk mempertimbangkan lagi apabila ingin menggunakan ragam bahasa yang menyimpang. Amin…
Wassalamu Alaikum Wr. Wb